Tak seperti anak-anak lain, Risalianus Aja (12) setiap hari banyak menghabiskan waktu di rumah untuk mengurus kedua orangtuanya.
Ayahnya mengalami lumpuh. Sementara ibunya tak hanya lumpuh, tetapi juga bisu.
Risalianus pun harus merawat dan menghidupi keluarga dengan cara berkebun.
"Dia yang urus makan, minum, dan membersihkan kotoran kami," ungkap sang ayah, Benediktus Poseng dengan mata berkaca-kaca.
Tinggal di rumah kecil
Keluarga Risalianus selama ini tinggal di sebuah rumah kecil di Kampung Kota Tunda, Desa Nanga Meje, Kecamatan Elar Selatan, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Rumahnya hanya berukuran 4x5 meter dan ditinggali tiga orang.
Sementara adik Risalianus tinggal bersama paman di Kampung Pepil yang berada puluhan kilometer dari Kota Tunda.
Sang ayah, Benediktus Poseng terbaring di kamar, yakni di atas pelupuh bambu dan beralas karung berisi kapuk.
Istri Benediktus, Wihelmina Mbi, hanya terbaring di ruang tamu beralaskan beberapa papan.
Lantai rumah masih berbentuk tanah. Pada bagian dapurnya becek jika hujan.
"Kalau hujan begini, saya kesulitan untuk memasak karena atap dapur bocor," ujar Benediktus kepada Kompas.com, Sabtu (20/2/2021).
Istri lumpuh usai melahirkan
Wihelmina mengalami lumpuh dan bisu sejak 2016, yaitu seusai melahirkan anak bungsu.
"Istri saya itu mulai sakit saat melahirkan anak bungsu kami. Saat itu dia pingsan. Dia sempat dirawat di RSUD Ruteng selama tiga minggu," ujarnya.
Saat itu Wihelmina tidak bisa berbicara karena lidahnya tertarik ke dalam.
Hal tersebut dirasakan sang istri sepulang dari rumah sakit.
Benediktus Poseng sedang duduk di kamarnya karena lumpuh. (Dokumentasi Yorit Poni) |
Benediktus lumpuh sepulang dari kebun
Sedangkan Benediktus mengalami kelumpuhan sejak 2019.
Kakinya tidak bisa digerakkan sepulang dari kebun.
"Kalau saya, awalnya itu saya rasa nyilu di tulang. Kemudian kaku dan tidak bisa jalan," ucapnya.
Dengan kondisi tersebut, Benediktus dan Wihelmina hanya bisa berbaring sepanjang hari dan hanya mengandalkan anaknya, Risalianus.
Urus keluarga dari berkebun
Sejak saat itu Risalianus banting tulang demi keluarga, salah satunya dengan memanfaatkan kebun kopi dan kemiri.
"Pulang sekolah dan hari-hari libur. Setelah dia urus makan untuk kami, dia ke sawah atau ke kebun. Hasilnya itu supaya kami bisa makan dan beli kebutuhan sehari-hari," ujar dia.
Sementara tanaman padi di sawah biasa panen dua kali dalam setahun.
Mereka menggantungkan hidup dari belas kasih tetangga dan Komunitas berbasis gerejani (KBG), kelompok doa di tingkat keluarga.
Keluarga Risalianus juga mendapatkan dana Program Keluarga Harapan (PKH) dari pemerintah. [Tribunnews.com]